Jumat, 02 Maret 2012

Menggantang Asap

Menggantang asap secara harafiah dapat diartikan sebagai melakukan perbuatan atau aktifitas yang tidak akan menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan alias sia-sia. Karena apa? Asap tidak akan bisa ditangkap. Atau misalpun bisa, akhirnya asap tadi akan berubah menjadi air, atau biasa kita sebut mengembun. Jadi bukan asap yang akan kita dapatkan.
Mendengar berita sehari-hari, mulai jamannya ORBA hingga kini ORRE (orde Reformasi), kita akan senantiasa disajikan dengan kabar-kabar tentang perselingkuhan para pejabat kita di tiga poros, yaitu Eksekutif, legislative dan Yudikatif dengan jabatan yang mereka emban. Walaupun tentunya karena berbeda era/jaman, pada saat ORBA, perselingkuhan tersebut tidak banyak diekspos ke public akibat rezim yang berkuaasa pada saat itu (seperti kita sama tahu) sangatlah otoriter. Dengan bertamengkan asumsi demi keamanan Negara atau kemanan nasional, segala sesuatu yang oleh penguasa saat itu dianggap dapat mengganggu stabilitas jalannya roda pemerintahan yang akan berimbas pada keamanan nasional, maka akan dilakukan tindakan tegas dan represif oleh aparat keamanan. Maka jangan heran jika pada saat ORBA tidak banyak bahkan nyaris tidak pernah terdengar kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat Negara. Padahal yang berada di bawah permukaan maupun yang jelas gamblang di depan mata begitu marak dan meriahnya, bagaikan bintang yang bertaburan di malam hari yang cerah. Demikian banyak dan sistemiknya penyakit social tersebut. Bahkan hampir tepat bila dikatakan penyakit social itu sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia atau karakter. Tapi tentunya tidak seratus persen atau seluruh manusia Indonesia menjalankan budaya tersebut. Pasti ada satu atau dua manusia diantra seribu yang tidak sepaham dengan budaya tadi. Dan celakanya, ORRE yang semula kita harapkan menjadi awal kebangkitan bangsa ini, nampaknya mengikuti anjuran para pembesar-pembesar terdahulu yang selalu mengagaung-gaungkan untuk senantiasa mejaga warisan luhur nenek moyang (pendahulu) kita. Sayangnya bukan hanya warisan luhur saja yang dijaga, tapi warisan yang tidak luhurpun ternyata juga dipelihara dan dirawat bahkan dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Hal ini dapat dimahfumi, Kenapa? Ya tentu saja, karena sebagian dari pejabat yang saat ini masih bercokol menjabat, adalah sisa-sisa dari gerbong pejabat pada masa lalu. Tentu sulit untuk mengaharapkan para sisa-sisa ini dapat memperbaiki diri sendiri dan keluarganya terhadap perilaku kurang senonoh mereka dimasa lalu. Dengan berbagai alasan. Bisa demi menutupi boroknya sendiri atau demi menutupi aib gerombolannya. Rupanya mereka pahamm benar dengan peribahasa yang berbunyi : “Menepuk air di ddulang, terpercik muka sendiri”. Alih-alih memperbaiki diri, bahkan sebagian dari mereka telah tega mendidik dan mengkader generasi saat ini. Generasi saat inipun rupanya cepat tanggap dan pandai melihat kesempatan yang ada. Jadi Klop sudah.
Tentu bagi masyarakat awam seperti kita, melihat perslingkuhan para pejabat dengan jabatannya, akan merasa gregetan, jengkel, marah…yang pada akhirnya karena tidak mampu berbuat apa-apa, terpaksa jadi impoten dan memaklumi, “bahwa itu adalah wajar. Kekuasaan itu cenderung untuk nyeleweng, jadi dianggap wajar-wajar saja”, tapi tentu saja ditambah dengan sejuta sumpah serapah dan kutukan yang kebanyakan tidak terdengar dan tertuliskan. Hening dalam kepedihan masing-masing dari kita.
Tapi bagaimana halnya dengan perselingkuhan yang dilakukan oleh para Wakil RAKYAT? Wakil Kita di Parlemen? Apakah sama tanggapan kebanyakan dari kita terhadap hal itu? Saya melihat tanggapan kebanyakan masyarakat kita, -bahkan salah satunya disuarakan oleh sang maestro folk song ; Iwan Fals melalui lagunya Wakil Rakyat, yang isinya menyindir tentang perilaku para wakil rakyat kita yang tidak senonoh dan tidak pro rakyat/kita-, adalah cenderung lebih heboh bila dibandingkan melihat atau mendengar pejabat eksekutif yang melakukannya. Pertanyaannya : Kenapa bisa begitu ya?
Mungkin karena kebanyakan dari kita masyarakat menaruh harapan yang tinggi terhadap para wakil rakyat tersebut. Bukankah mereka dipilih oleh kita/masyarakat, untuk mewakili kita mengurus Negara? Sedangkan para pejabat eksekutif bukanlah orang-orang yang dipilih oleh masyarakat, melainkan oleh presiden. Jadi mereka memang bukan mewakili kita masyarakat untuk mengurus Negara ini. Para wakil rakyatpun diharapkan untuk menjadi pengawas atau kontrol terhadap kinerja dan produk ekesekutif. Makanya, begitu kita melihat dan mendengar para wakil kita tersebut tidak pro terhadap kita bahkan berselingkuh dengan jabatannya, maka marah besarlah kita. Kecewalah kita. Pupuslah sudah harapan dan mimpi indah kita. Tapi, apa memang harus begitu? Atau, kenapa harus begitu?
Mari kita sedikit melihat ke sekitar kita. Apakah masyarakat di lingkungan sekitar kita adalah masyarakat yang homogen? Baik dari segi suku, agama, budaya serta karakternya. Tentunya tidak bukan? Masyarakat kita adalah masyarakt yang heterogen/majemuk. Ada berbagai macam suku disana, ada berbagai macam adat dan kebiasaan disana. Ada berbagai macam agama atau aliran kepercayaan disana. Ada berbagai macam karakter manusia disana. Ada yang baik, ada yang jahat bahkan ada yang diantara keduanya. Loh?
Dengan berbagai macam latar belakang yang disebutkan di atas tadi, itu merupakan gambaran betapa majemuknya masyarakat Indonesia. Dan dari berbagai macam latar belakang dan kemajemukan masyarakat kita tadi, kita memilih sedikit diantaranya untuk mewakili kita/masyarakat/rakyat, untuk mengurus Negara kita ini.
Jadi, so, jangan heran, diantara para wkil rakyat kita yang terhormat itu, ada sebagian yang baik. Mereka tidak neko-neko. Tidak berselingkuh dengan jabatan. Mereka itulah yang mewakili sebagian masyarakat/rakyat Indonesia yang tegolong baik. Seperti misalnya alim ulama, orang-rang shaleh-shalihah. Ada juga diantara wakil rakyat yang kritis, memiliki etos kerja yang tinggi. Mereka itu mungkin mewakili para cerdik-cendikiawan masyarakat kita. Namun, ada juga yang nakal. Mereka sering bolos kerja, suka tidur waqktu rapat, suka plesiran kesana kemari, dan suka korupsi. Nah…, mereka itu mungkin yang mewakili sebagian masyarakat kita yang bekerja sebagai, pencopet, rampok, jambret dan kawan kawannya.
Jadi jangan heran dan takjub yang berlebihan, bila kita mendengar sebagian wakil rakyt kita di parlemen yang melakukan perselingkuhan dengan jabatannya. Mereka itu memang mungkin mewakili sebagian dari masyarakat kita yang sungguh majemuk ini. Dan di masyaraktpun, andai ada anggotanya yang melakukan perbuatan merugikan orang lain seperti mencuri, jambret, rampok dkk, akan berhadapan dengan hokum yang berlaku di Negara ini. Dan kitapun tidak suka dengan kelompok ini. Tapi, bagaimanapun juga mereka adalah bagian dari bangsa ini. Maka para wakil rakyat kita yang melakukan perselingkuhan dengan jabatannya, merekapun akan berhadapan dengan hokum. Jadi wajar wajar saja kan? Menurut pandangan saya, tidakl usahlah terlalu berlebihan dalam menyikapi fenomena perselingkuhan yang dilakukan oleh para wikil rakyat kita itu. Malah justru, andai tidak ada yang melakukan perselingkuhan-perselingkuhan tersebut, akan terasa aneh dan janggal. Apa benar mereka itu wakil rakyat kita, masyarakat Indonesia?
Sekarang justru saya sedang menanti, berita tentang para wakil rakyat ikita yang di parlemen sana. Untuk melakukan apa? Bukankah di masyarakat kita ada orang-orang yang gemar mencntai sesame jenisnya? Atau Pemerkosa? Atau Mutilator (pelaku mutilasi)? Mana dari mereka yang diwakili oleh para wakil rakyat kita di parlemen sana? He..he..he…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar