Jumat, 20 Mei 2011

Potensi diri


Pernahkan anda mengalami keadaan dimana disuatu titik, anda benar-benar penat dalam menghadapi berbagai macam persoalan hidup, hingga tidak mampu berpikir lagi. Dan pada keadaan seperti itu, datang masalah baru yang menghampiri tanpa mau melihat sikon anda pada saat itu.
Saya pernah mengalaminya. Dan bagaimana kira-kira reaksi yang saya berikan saat itu? Dapatkah anda menerkanya? Yap.., benar! MELEDAK! Dhuar...!! Pecah.., hancur berkeping keping, berceceranlah serpihan serpihan hati yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Mengapa hal seperti itu sampai terjadi? Apa memang “harus”? Saya rasa tidak harus. Mengapa? Saya jadi ingat, ketika kejadian-kejadian (berbentuk jamak, karena lebih dari 1/sekali) itu menghampiri, yang ada pada diri saya adalah pola pikir yang keliru. Saat itu saya selalu mengatakan (untuk membela diri) kepada pihak yang membawa masalah baru tersebut, yang akhirnya terpaksa terkena dampak ledakan emosi saya, bahwa bila diibaratkan hati dan pikiran saya itu seperti sebuah gelas, maka gelas tersebut sudah penuh isinya dengan air. Ketika keadaan “penuh” tersebut digoyang atau ditambahi oleh sesuatu yang lain, maka yang terjadi adalah tumpahlah isi yang ada di dalam gelas tersebut. Dan tumpahannya itu dapat menyiprati sesuatu yang ada di dekatnya.
Itulah yang saya anggap cara atau pola berpikir yang keliru. Berarti, secara tidak langsung sebenarnya saya telah mengerdilkan diri atau potensi yang ada dalam diri saya sendiri.
Ada sebuah hikayat, yang telah membuka dan merubah pola berpikir saya yang keliru tadi. Demikian kisahnya ;
Suatu hari ada seorang santri yang datang menemui kiyai atau guru pengajarnya. Santri tersebut mengeluhkan tentang kejadian kejadian yang menimpa hidupnya, sehingga hati dan pikirannya selalu gelisah, dan sangat mengganggu jiwanya. Oleh sang kiyai, disuruhnya mengambil sebuah gelas yang telah diisi penuh oleh air. Setelah hal itu dikerjakan, maka oleh sang kiyai gelas tersebut diberi segenggam garam dapur. Lalu diaduknya gelas yang telah diberi garam tadi. Setelah itu, oleh sang kiyai disuruh untuk mencicipinya.
“coba kamu cicipi air di gelas itu”, kata sang kiyai kepada santrinya. Si santripun mencicipinya.
“fuihh.., maaf kiyai.., airnya asin sekali”, kata si santri sambil memuntahkan air garam tersebut.
“sekarang kamu ikut aku”, lanjut sang kiyai. Kemudian sang kiyai, diikuti si santri keluar dari padepokan. Ternyata mereka menuju ke sebuah telaga yang memang tidak jauh dari padepokan sang kiyai. Kemudian sang kiyai mengambil sesuatu dari sakunya. Ternyata segenggam garam yang dibawanya dari padepokan tadi. Lalu segenggam garam tersebut dituangkan kedalam telaga, dekat dengan tempat mereka berdiri. Lalu diaduknya air dimana garam tadi dituangkan.
“sekarang coba kamu cicipi air telaga ini”, perintah sang kiyai kepada santrinya. Lalu si santri mengikuti apa yang diperintahkan kiyai kepadanya. Diambilnya air telaga tersebut dengan kedua telapak tangannya, dan diminumnya.
“bagaimana rasa air tersebut?” tanya sang kiyai
“tidak berasa apa apa kiyai” jawab si santri.
“nah.., pelajaran apa yang bisa kamu petik dari dua kejadian ini? Bukankah tadi aku menuangkan segenggam garam dengan jumlah yang sama di dua tempat yang berbeda? Dan ternyata hasilnyapun berbeda pula bukan? Begitu pula dengan hati dan pikiran manusia. Jika hati dan pikirannya hanya seperti sebuah gelas, maka begitu ada beberapa persoalan yang memasukinya, langsung larut dan mengguncangkan hati dan pikirannya. Namun, bila hatinya seperti contoh yang kedua, yaitu seluas telaga, maka walaupun banyak persoalan memasukinya, dia akan tetap tenang, tak terpengaruh, tak berubah”.

Itulah hikayat yang telah merubah pola berpikir saya (insyaAllah), dari merasa seperti sebuah gelas, menjadi berusaha menjadi seluas telaga. Dan itu tentu tidaklah mudah memang, namun harus ditumbuhkan kesadaran bahwa saya (kita) tidaklah sekerdil itu!. Kita harus berusaha merubah pola pikir atau mindset yang keliru tersebut. Sebab jika tidak, alam bawah sadar kita akan membentuk diri dan kepribadian kita sesuai yang dicitrakan oleh pola pikirkita sendiri. Dan harapan akan ridho, rahmat dan hidayah serta hinayahNya adalah sebuah keniscayaan agar pikiran kita diluaskan dan hati kita dilapangkan dalam menghadapi segala macam ujian yang datang pada kita. Tanpa itu, bisa apa kita sebagai manusia?.

Dan perlu diingat, bukankah Allah dalam sebuah hadist QudsiNya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Umar RA, berfirman :
”sesungguhnya langit dan bumi tidak mampu menampung Aku. Hanya hati/qalbu orang yang beriman yang sanggup menampung”.

Nah.., bukankah Dia sang Khaliq telah menginformasikan kepada kita, betapa besar dan luarbiasanya potensi yang dititipkan kepada kita oleh Dia? Lalu, mengapa kita berani beraninya mengkerdilkan potensi tersebut?
Mungkin sebenarnya lebih tepat kalau dikatakan bahwa kita tidak sadar akan potensi diri tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar