Jumat, 20 Mei 2011

Amarah


Suatu ketika seorang sahabat saya curhat kepada saya mengenai masalah yang tengah dihadapinya. Diceritakan kepada saya betapa masygulnya dia ketika mengetahui uangnya yang telah dipinjamkan kepada salah seorang rekan bisnisnya mengalami kemacetan alias tidak bisa tertagih. Padahal uang tersebut bukan murni uang dia sendiri, melainkan ada sebagian yang merupakan tabungan keluarga. keluarga dalam hal ini yaitu istrinya sendiri. Tentu saja begitu mengetahui nasib uangnya tidak bisa kembali, sang istri marah besar. Sejatinya uang tabungan tersebut direncanakan untuk biaya pendidikan anak anak mereka. Dan yang membuat sahabat saya itu tambah jengkel tidak karuan adalah dia mencurigai adanya kecurangan yang dilakukan oleh rekan bisnisnya itu. Istilahnya dalam bahasa jawa mungkin tepat untuk menggambarkan keadaannya saat itu; “wis ditulung, menthung”, yang artinya kira kira : “sudah ditolong, malah mukul”.
Dia bingung, apa yang harus dilakukan? Jika dipidanakan, selain uang tetap tidak akan kembali (karena si rekan bisnisnya ternyata selain dengan dia, juga memiliki banyak hutang dengan pihak lain. Sedangkan tidak ada aset darinya yang bisa disita sebagai jaminan pelunasan hutang), berarti dia juga akan menelantarkan anak dan istri yang masih menjadi tanggungannya. Bukankah dengan dipenjara itu sama saja menutup kemungkinan baginya untuk berusaha bangkit dari keterpurukan ini?

Hampir saja sahabat saya ini murka dan gelap mata atas kejadian yang menimpanya.
Dalam pada ini saya katakan padanya untuk bersabar. Bahwasanya itu hanya merupakan ujian baginya terhadap amanah yang dititipkan pada dirinya, yaitu berupa harta. Bukankah harta itu hanyalah titipan, bukan miliknya sejati? Bukankah hartanya kelak akan dipertanyakan dari mana asalnya dan dipergunakan untuk apa? Itu berarti bahwa memang harta itu hanya titipan. Kalau bukan titipan, untuk apa dimintai pertanggung jawaban?

Dan, kalau dipikir lebih dalam lagi, sebenarnya siapa yang lebih berhak untuk murka atas kejadian ini?
Menurut saya, tentu saja sang pemilik harta. Siapa dia? Dia adalah yang memiliki seluruh yang ada di bumi, langit dan di antaranya. Dia adalah Allah SWT. Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Kaya. Dialah yang paling berhak murka. Dia akan berfirman yang tidak akan terdengar oleh indera kita :
”Hai Fulan! Kamu telah berbuat dholim. Kamu telah mengambil harta yang Ku titipkan pada si “A” dengan cara yang tidak terpuji. Maka tunggulah pembalasan dariKu. Sesungguhnya pembalasanku sangat cepat datangnya”.
“Wahai hamba, segala sesuatu adalah kepunyaanKu, bagiKu dan untukKu. Jangan sekali kali engkau merebut apa apa yang menjadi kepunyaanKu”
“Kembalikan segala sesuatu kepadaKu, niscaya akan Kubuahkan pengembalianmu dengan tanganKu, dan Kutambahkan padanya dengan kepemurahanKu. Serahkan segala sesuatu kepadaKu, niscaya Kuselamatkan engkau dari segala sesuatu”.

Maka dari itu saya ingatkan kepada sahabat saya yang tengah tertimpa musibah tadi untuk bersabar, dan mengembalikan segala urusan kepada yang paling berhak memutuskan. Agar dia bertawakal dan lebih menghayati dengan sebenar benarnya kalimat : “Innalillahi wa innailaihi rojiun”. Sesungguhnya segala sesuatu itu berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya juga.
Dengan senantiasa menghayati kalimat di atas, niscaya kita tidak akan terbawa dan hanyut oleh perasaan marah, emosi dan lain sebagainya. Dalam keadaan apapun, ketika kita merasa didholim-i oleh seseorang, tarik kembali kesadaran akan hal tersebut diatas, bahwa Allah lah yang lebih berhak untuk murka, bukan kita. Karena Dia Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Penyantun. Dia tidak akan suka melihat orang berbuat dholim diatas dunia ini.
Ada satu pertanyaan, apakah kita (anda dan saya) pernah berbuat salah atau dholim? baik kepada orang lain ataupun kepada diri kita sendiri? Tentu saja pernah bukan? Dan apakah kita dihukumNya atas perbuatan kita? Tentu jawabannya relatif dan bervariasi. Tapi yang pasti, yakinlah, bahwa Allah masih bersabar atas segala ulah kita. Karena Dia Maha Penyabar, Maha Rahmat. Bahkan kepada orang orang yang tidak mengakuiNya sekalipun (kafir), Dia tetap sabar dan menyantuninya.
Ebit G Ade pun dalam salah satu lagunya berkata :
................................................
sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum
dengan sinar mataNya yang lebih tajam dari matahari.

Maka, mari kita berusaha menimbulkan rasa malu dalam diri kita, bila suatu saat kita hendak melemparkan rasa amarah kepada sesama kita. Karena, Dia telah begitu bersabar terhadap segala perbuatan perbuatan kita yang kurang senonoh selama ini. Padahal Dia sangat mampu dan berhak untuk menimpakan amarahNya kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar