Selasa, 26 Januari 2010

TOLOK UKUR

Akhir-kahir ini kita sering mendengar di media masa tentang perdebatan mengenai perlu tidaknya UNAS. Tentunya ada ada kubu yang mempunyai pandangan yang berbeda; yang pro dan yang kontra. Yang pro, dari pihak pemerintah dalam hal ini dinakodahi oleh Depdiknas berpendapat, bahwa UNAS dperlukan sebagai tolok ukur keberhasilan satu sekolah dalam menerima dan menjalankan program yang telah digariskan oleh pusat.
Diranah lain, misal kita intip hiruk pikuk di Jakarta, Senayan, tempat Pansus Angket Century berlangsung. Disana sedang terjadi proses (yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai tayangan sinetron century) penyelidikan oleh anggota Pansus Angket DPR terhadap kemungkinan adanya penyalah-gunaan wewenang/kebijakan. Hasil dari Pansus ini dapat dipandang sebagai tolok ukur kinerja DPR yang terhormat, apakah beliau-beliau benar benar mengedepankan kewajibannya sebagai wakil rakyat, atau apalah sebutannya.
Dalam kehidupan beragamapun kita sering mendapatkan padanan yang mirip atau hampir serupa. Misal tentang ciri-ciri orang yang beriman. Disebutkan dalam Al Quran surat Al Anfaal (8), ayat 2-3 :
2. Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah                       hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya             kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
3. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan         kepada mereka.
Disitu diterangkan tentang ciri-ciri, atau dalam hal ini bisa kita padankan kata tersebut dengan tolok ukur orang yang beriman.  
Begitu pentingnya untuk kita perhatikan hal mengenai tolok ukur itu.  Sebab dengannya kita bisa mengetahui seberapa jauh posisi segala sesuatu relatif terhadap nilai atau tujuan yang hendak dicapai.  Itu bisa dipakai sebagai ajang introspeksi diri kita, sejauh mana, atau  bagaimana kondisi kita pada saat dikenakan tolok ukur itu pada diri kita.
Pernah ada seorang sahabat bercerita kepada saya, bahwa dia baru saja mengantarkan jenazah salah seorang tetangganya.  Segala prosesi menjelang dan pada saat dimakamkan diikutinya, sambil membayangkan apa yang tengah dialami oleh si almarhum pada saat itu. Pada saat dimandikan, dikafani, dalam perjalan ke pemakaman hingga dimasukkan ke liang kubur. Pikirannya atau fantasinya tentunya sejalan dengan segala informasi yang telah didapat selama ini. Berujung sampai kepada, bagaimana seandainya dia yang mengalaminya.  Timbul rasa takut yang luar biasa dalam hatinya.  "Ya Allah..., hamba tahu saat itu akan datang juga pada hamba, entah kapan.  Namun ya Allah, ijinkanlah hambamu ini bertaubat dan cabutlah nyawa hamba dalam keadaan yang khusnul khotimah..., amin". Demikian jeritnya dalam hati.
Apa ada yang salah dalam hal ini? Mungkin tidak. Sangat manusiawi sekali jikalau sahabat saya atau bahkan kita semua memikirkan hal yang demikian itu, akan timbul rasa takut, was-was dsb.  Dimana keadaan, suasana di alam yang baru itu benar-benar gelap bagi kita. Hanya pengetahuan dari para guru dan literatur-literaturlah yang memandu kita ke alam yang baru itu.
Namuin.., sebenarnyalah.., justru (menurut saya) itu dapat dijadikan tolok ukur bagi kita semua, tentang posisi kita, keadaan kita.  Analoginya; seorang pencuri, akan merasa was-was jika berpapasan dengan aparat keamanan, dalam hal ini polisi. Walaupun misalnya, si polisi belum tentu mengetahui tentang kejahatan yang sudah dilakukan. Tapi, rasa bersalah dalam diri sang pencurilah yang membuat keadaan menjadi menegangkan bagi dirinya sendiri.
Begitu pula sahabat saya, atau kita semua pada saat memikirkan tentang kematian akan mengalami rasa was-was, ketakutan dan rasa negatip lainnya.  Itu bisa jadi karena sahabat saya, atau diri kita menyadari bahwa betapa banyak dosa-dosa yang telah dilakukan, sehingga begitu takutnya kita dalam menghadapi reward atau pembalasan atas apa-apa yang telah kita lakukan.
Padahal..., kejadian seperti itu sungguh sangat ironis!  Betapa tidak..? 
Kematian itu sebenarnya ajang untuk kita bertemu dengan Dia/Beliau yang sangat kita kagumi, sangat kita hormati.  Bukankah kita sering mengumandangkan dengan lisan kita kata-kata Alhamdulillahirobbilalamin
Kita memujinya, baik secara sadar maupun tidak. Kita mengakuinya, baik secara sadar maupun tidak. Kitapun diberitahu oleh Dia, bahwa betapa dia Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang. Bukankah kita sering melafalkan kata Arrohmanirrohiim
Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan (leher).
Pepatah itu sudah sering kita dengar sejak kita masih kecil.  Sadarkah kita bahwa, rasa kasih dan sayang yang dimiliki oleh seorang Ibu kepada anaknya yang sangat luarbiasa itu, hanyalah sepercik (cipratan) dari Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Betapa bisa rasa kasih yang menjadi tolok ukur ketulusan seorang manusia itu dibandingkan dengan sumber dari rasa Kasih dan Sayang yang dimiliki olehNya?
Alam semesta dan segala isinya yang begitu indah dan sempurnanya ini, juga adalah ciptaanNya.  Betapa bisa Dia sang Pencipta disandingkan dengan ciptaanNya? tentu saja Dia jauh lebih indah dan sempurna. Maha Indah dan Maha Sempurna Dia.
Bagaimana mungkin kita sebagai manusia yang begitu cintanya dengan segala sesuatu yang indah, tidak ingin berjumpa atau melihat keindahan yang begitu Sempurna?
Coba simak Al Quran Surat Al Lail (92), ayat 20-21 :
20. “Illabtighaa’a wajhi rabbihil a’la”,  
       (Kecuali yang mengharap wajah Rabb-nya yang Mahatinggi),
21. "wa la saufayardhoh"
        ((Dan) sungguh, akan meraih keridhaan). 

SEBAGAI ANALOGI, SESEORANG YANG SEDANG DIMABUK CINTA AKAN SENANTIASA MERINDUKAN PERJUMPAAN DENGAN YANG DICINTAINYA. TATKALA ADA JANJI BERTEMU, IA AKAN BERUSAHA UNTUK TIDAK TERLAMBAT. BEGITU PULA SAAT KITA MERINDUKAN ALLAH, KITA AKAN SELALU MENUNGGU BERJUMPA DENGAN-NYA DAN AKAN SELALU MENUNGGU PERJUMPAAN ITU. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar