Rabu, 13 Januari 2010

Pengki Tambunan


“Hei ndut.., tumben sore-sore? Dari mana barusan?”, cerocosku ketika tiba-tiba melihat sosok tambun yang tanpa suara langsung masuk ke dalam kamarku dan dengan indahnya merebahkan badannya tanpa sudi melepas sandalnya yang sudah kurang bagus itu.
“Wooooiii.., sandalmu prêt! Kayak yang kebagusan aja”, umpatku sambil menendang kakinya, hingga sandal butut itupun lepas.
“Walah.., birokratis amat! Spreimu kotor, ya tinggal cuci, gitu aja kok repot! Kalau gak mau repot, ya gak usah pake kasur sekalian, nanti spreimu kotor, bantalmu bau kena keringetmu. Lantaimu juga kotor, badanmu juga percuma dimandiin, paling-paling bentar lagi sudah bau lagi”. Bener-bener kampret nih anak, bathinku. Aku ngomong sedikit.., eh dibalas sebukit sama si gendut tak beraturan ini. Penganut faham Gus Durisme juga nampaknya, easy going.

“Eh.., ada acara gak? Kalo gak ada, yuk ikut aku”, kataku.
“Nehi, emangnya mau kemana?”jawab si ndut
“Ke tukang bubut yuk. Aku mau ngolterin mulutmu. Kayaknya udah over size deh. Jadi boros nanti loh!”.
“Ooohhh.., jambret! Pantatmu duluan aja, kalo siipp, baru aku nyusul!”, balas si ndut.
“Wakakak…, eh.. ngomong-ngomong kemana nih enaknya sekarang?”, tanyaku sambil siap-siap untuk memancing agar duitnya keluar, maklum.., tanggal tua, kiriman belum di transfer dari ortu.
“Kemana? Terserahlah. Aku lagi suntuk aja di rumah. Barusan nganter adikku Diska kuliah. Soalnya mobil dipake si Samsul”. Samsul adalah nama adik laki-lakinya.
“Hm.. getho? “, lalu aku pura-pura sedang berpikir tentang acara yang akan ku usulkan ke si ndut. Padahal yang ada dalam pikiranku Cuma satu; kasihan sama piaraan di perutku. Dari tadi sudah nendang-nendang gak karuan. Cuma mau ngusulin cari makan, kok seakan-akan.., bagaimana gitu. Tengsin adalah kata-kata yang pas untuk kondisi perasaanku saat ini.
“gini aja lah, pokoknya kita keluar dulu, istilahnya cari angin. Yah, walaupun disini ada angin dari kipas, tapi kok rasanya beda sama angin yang diluar sana. Siapa tahu aja nasib kita lagi mujur, kenal anaknya orang yang jualan rujak cingur?!”, ujar ku berpuisi, layaknya Om Mus Mulyadi. Om? Kapan kawin sama tante? Kenal aja cuma lewat kaset-kasetnya.
“Wokeei.., siapa takhuut? Let’s go beibeh”, sulutnya.
Jreng…, jreng..jreng…, whus…, kamipun jadi berangkat keluar dengan tujuan utama mencari angin yang lebih segar dibandingkan dengan angin yang ada di dalam kamarku. Tujuan sampingannya, ya itu tadi mencari orang jual rujak cingur, siapa tahu anaknya ada yang cantik. Kalaupun gak ada, paling tidak, piaraan dalam perutku akan sehat-sehat.
Sambil ngobrol ngalor-ngidul, mata kami jelalatan kemana-mana. Cukup aneh memang. Kami seakan-akan berkomunikasi, tapi mata kami tidak saling berkomunikasi, jalan sendiri-sendiri. Jadi yang terjadi sebenarnya kami sedang sibuk dengan fantasi masing-masing. Akibatnya, kadang-kdang, apa yang kami obrolkanpun menjadi gak terlalu penting. Dia mau ngomong apa, aku menjawab sekenanya saja. Malah terkadang tidak terdengar, kalah oleh bisingnya suara kendaraan di sekitar kami. Begitupun sebaiknya. Tapi kamu tetap saja ngobrol.
Weiiits…, tunggu dulu,apaan tuh…? Dari jarak yang agak tidak terlalu dekat, mataku yang terlatih dalam hal mengamati mahluk non-ghaib dari jenis kelamin yang berbeda dengan kepunyaanku, menemukan adanya sosok yang mencurigakan. Dan nampaknya, dari performance sepintas lalu, dia cocok menjadi target kami hari ini. Sosok itu tengah menyeberangi jalan, berduaan dengan perempuan lain. Namun kalau diamati lebih teliti, nampaknya mereka dari kasta yang berbeda. Wakakak…, feodalism amat cara berpikirku. Maap..maap ya mbak, bathinku dalam hati, atas sikap kefeodalism-anku.
Ku rem perlahan sepeda motorku. Sambil memberi kesempatan buat si target dan temannya sampai ke seberang jalan.
Oh, ternyata mereka menuju ke warung penjual nasi goreng. Akupun perlahan-lahan menepikan sepeda motorku dan menepi.
“Ndhut, ada target tuh! Lihat gak?”, tanyaku pada si ndhut yang kelihatan agak bingung dengan berhentinya kami di dekat warung nasi goreng.
“Mana? Oh…, itu? Weleh..weleh.., so good very good tuh. Mantab men! Cuma, gimana caranya? Kelihatannya dia mau beli nasi goreng. Dan kelihatannya kok mesennya sambil berdiri? Kayaknya dia minta dibungkus tuh. Wah.., susah men cara nge-prutnya (maksudnya approach)”, cerocos si ndhut.
“Mulutmu itu loh, di elap dulu, kok pake acara ngiler segala! Malu-maluin korps aja!”, sahutku begitu melihat di sudut bibirnya ada air, yang kemungkinan besar itu adalah air liur. Tanda orang tengah ngiler terhadap sesuatu. Bener-bener gokil nih si ndhut, bathinku.
Bener juga sih apa yang dibilang si ndhut. Kalau sang target memesan makanan sambil dimakan ditempat, itu akan sangat mudah bagi kami untuk mencoba berkenalan atau dalam istilah si ndhut nge-prut. Tapi, kalau makanannya yang dipesan dibungkus, cukup sulit kiranya bagi kamu untuk melakukan operasi dalam situasi seperti itu. Kamipun turun dari sepeda motor, dan melepas helm yang kami gunakan. Tentunya kondisi serba tidak jelas seperti ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Apa kata orang yang ada di warung jika melihat kami Cuma duduk-duduk di sepeda motor, tanpa berusaha memesan makanan. Jangan-jangan dikira maling nantinya.
“Oh.., aku punya ide”, kataku pada si ndhut. “Pokoknya kamu ikut aja di sebelahku, beres!”. Gak tahu dari mana ide ini, semacam ilham bagiku, he..he..he.
“Ehem..,” dehemku dalam rangka memulai percakapan dengan sang target.
“Mbak, numpang tanya ya, Jl. Gedung baruk gang 2 mana ya?”, kataku pada sang target, pura-pura tidak tahu jalan yang kutanyakan. Padahal. Gang itu adalah tempat aku biasa nongkrong di rumah temen SMPku dulu.
“Oh itu di depan mas. Gang yang ke dua. Kelihatan kok dari sini” jawabnya. Untung saja yang menjawab sang target, bukan temannya. Kalau temannya, bakalan agak susah juga untuk memancing sang target angkat bicara.
“Oh itu ya? BIsa dinaiki sepeda motor? Atau harus dituntun mbak?”, tanyaku lagi untuk menambah keyakinannya bahwa aku benar-benar tidak tahu.
“Oh bisa mas. Lebar kok gangnya”,jawabnya ramah. Wuaduh, mahluk ini, begitu diamati dari lebih dekat seperti ini makin Nampak keagungan Maha KaryaNya. Kulitnya yang puteh berseh, kalau menurut istilah si ndhut, untuk menggambarkan kulit yang putih bersih. Tubuhnya yang ramping dengan betis yang kecil namun proporsional. Wajahnya, dan terutama matanya, bulat bersinar, yang seolah-olah menyiratkan isi kraniumnya yang cemerlang. Ditambah sikapnya yang ramah, benar-benar gadis yang luar biasa bagiku. Apalagi kalau kelak dia jadi …….ku, sempurnalah dia sebagai mahluk (bagiku tentunya).
Lalu…, kemudian…, so…, apalagi yang mau aku tanyakan ke dia? Mana orang-orang yang sedang makan banyak yang melihat ke kami dan si cantik ini. Bingung sungguh aku. Si ndhut benar-benar menjalankan apa yang aku perintahkan padanya. Dia ikuuut aja, di sebelahku, tanpa memberika kontribusi apapun. Walaupun sedikit sepatah kata. Ah.., idiot juga si ndhut ini. Biasanya dia tidak seidiot ini. Gak tau kenapa, hari ini kok jadi lemot begini nih anak, runtukku dalam hati.
“Jadi.., berapa mbak?”, tanyaku setengah berbisik, takut terdengar oleh seisi warung dan si penjual nasi goreng.
Mendapat pertanyaan tiba-tiba dan tidak jelas seperti itu, tentu saja si cantik bingung, apa maksudnya, kok tiba-tiba tanya “berapa?”.
“Berapa apanya mas maksudnya?”, tanya dia
“Anu.., nomer rumahnya mbak”, lanjutku, sambil berharap-harap cemas, semoga dia tidak marah dan bersedia menjawanya.
“Nomer rumah saya?”
“”iya..”
“28 mas” jawabnya sambil menampakkan ekspresi yang sensual campur bingung. Lalu lanjutnya :"ada apa ya?". Alhamdulillah, ternyata dia gak marah, dan malah memberi kan nomer rumahnya lagi.
“Gang berapa”, desakku lagi tanpa mengacuhkan rasa keheranannya.
“Sama gang dua juga”, ujarnya. Kelihatannya dia masih juga belum 'ngeh' kalo aku kerjain.
“Lalu nama jalannya apa? Masa’ sama juga dengan yang saya tanya tadi?”, kejarku makin agresif. Untung saja napasku tidak tersengal-sengal. Namun si ndhut di sebelahku benar-benar tengah mati gaya. Diaaaammm saja, sambil melongo kayak kerbau lagi dapat lotere.
“Jl. Dharmawangsa”, katanya masih dalam nada yang enak didengar. Alhamdulillah lagi.
“Bisa dinaiki sepeda motor gak gangnya? Atau harus dituntun?”, pancingku bercanda.
“Wuiiihh, menghina ya! Itu jalan lebar mas, bukan gang kecil. Itu loh di depan sana jalannya”, katanya sambil bergaya merajuk. Ceeilehh, sudah mulai bisa merajuk nih si cantik. Benar-benar!!!!
“Oh yang disana itu? Iya ya, lebar jalannya”, tukasku sambil melihat jalan yang tadi ditunjuknya. Ternyata jalan itu adalah jalan dimana tadi dia berdiri di depannya sebelum menyeberang ke warung nasi goreng ini.
“Trus, kalau aku main kesana, aku musti mencari yang namanya siapa?. Padahal kan aku belum tahu namamu”, pancingku dengan liciknya.
“Bilang aja mau ketemu Niken”, jawabnya terkena pancinganku, sambil senyam-senyum. Nampaknya dia mulai 'ngeh' atas akal bulusku. Dan anehnya, dia ngikut saja dengan permainanku ini.
“Oh.., itu namamu ya? bagus ya. Oke deh, kapan-kapan boleh ya aku main ke rumahmu?!”, lanjutku.
“Oh iya, kenalin, namaku Jhon, ini temenku Don”, kataku memperkenalkan diri dan si ndhut ke si cantik yang ternyata bernama Niken.
Setelah itu kamipun berpamitan dengan meninggalkan jerat janji untuk bertandang kerumahnya bilamana ada waktu dan kesempatan. Dan halusnya gengaman tangan dari si cantik Niken, menemani alam fantasi kami berdua sepanjang jalan pulang.
Tak perlu lama menunggu waktu atau kesempatan yang akan muncul, besok malamnya aku menyatroni eh..mendatangi rumah Niken. Tapi kali ini tidak ditemani oleh sobatku yang gendhut itu, karena dia sedang ada acara keluar bersama teman kerjanya. Karena masih baru saja berkenalan, etikanya dikalangan kami, sebaiknya jangan datang sendirian, mengantisipasi mati kutu, mati gaya, atau mati apalah, jadi biar makin semarak dan lebih hidup suasananya. Tujuannya agar yang namanya kesan pertama itu jangan sampai jeblok dimata target kita. Jadilah akhirnya si Perot teman sekaligus tetangga dekat rumah yang menemani untuk mempererat tali silahturrahim selanjutnya.
Singkat kata, pertemuan malam itu dengan si Niken boleh dibilang sukses. Dimana si Niken tetap mempertahankan sikap ramahnya ditambah pula, si Perot bisa ikut menggayengkan suasana. Tapi ada yang sedikit mengejutkan diawal pertemuan itu, tatkala si Niken bertanya: “ Loh kok datang sendiri-sendiri mas, gak bareng temennya yang kemarin?”, tanyanya di awal perbincangan.
“Oh dia kebetulan ada acara dengan temannya. Dia nitip salam aja ke kamu katanya”, jawabku asal. Padahal si ndhut tidak menitipkan salam untuk dia, ini cuma ngarang aja.
“Ah masa’ sih? Kan tadi siang dia kesini sama temennya”.
Jeggeeerr!! Loh.., begitu saja kok marah? (kayak syair lagu dangdut aja ya?). Loh (lagi), aku kaget sungguh, ternyata si ndhut sudah mendahului kesini. Gak ngomong-ngomong lagi. Sial!
“Ha.., sama siapa dia?”, tanyaku penasaran
“Kalau gak salah nama temennya Dhodhot gitu. Anaknya tinggi”, kata Niken menjelaskan. Oh si dhodhot itu kan temen kerjanya yang sekarang sedang keluar dengan dia. Awas kamu ya ndhut!
“Itu temen kerjanya yang sekarang lagi keluar sama si ndhut”, timpalku. “Wah, kalau begitu, nanti dia bakal aku kasih julukan si Pengki ah…”, tambahku.
“Apa itu Pengki”, tanya si Niken.
“Pengki artinya Pengkhianat. Dan ada tambahan dibelakangnya : Tambun. Tapi kalau di panggil Pengki Tambun kan terlalu vulgar ya? Itu kan terlalu menggambarkan dimensi tubuhnya. Kasihan ah.. Biar lebih keren ditambahin akhiran –an, jadi Pengki Tambunan. Keren khan? Seperti nama orang dari Sumatera Utara dengan marga Tambunan”, jelasku panjang lebar yang diiringi derai tawa kami bertiga. Wakakakakk….. Pengki Tambunan……awas lo ya….!!!

(Cerita ini merupakan kisah nyata. Merupakan pengalaman pribadiku bersama sobatku yang ndhut. Dengan ditambahi sedkit bumbu-bumbu seperti terasi, bawang goreng, tomat, jeruk, keju, mayonnaise, biar lebih lezat rasanya. Wong namanya saja tidak pengalaman jadi tukang nasi goreng, jadi kalau kurang nikmat, yah…ditelan aja! Gitu aja kok repot!
Buat si Ndhut: ne’ moco iki, koment-no, protes-o, nang kolom koment, nek gak terimo, kirimen aku wesel ae wis!!)

4 komentar:

  1. waduh, ini beneran kisah kompetisi yang menarik dan mendebarkan. wakakakaka...

    BalasHapus
  2. Waduh bang Toga yth, tks sdh mampir di blog asal jadi ini. tapi ini mmg true story loh bang... tks sekali lagi sdh mampir dan koment

    BalasHapus
  3. akhirnya gmana ? dapet ga ? hihihi

    BalasHapus
  4. Alhamdulilah.... akhirnya kita berdua sama2 gak mendapatkan si Niken. Tapi istri saya yg sekarang hak kalah cantiknya loh..he..he... Apalagi istri masa depan saya... wuah......bidadari aja kalah.., insyaAllah. Amiinn YRA

    BalasHapus