Kamis, 07 Januari 2010

Para Pencari



Alkisah ada seorang anak laki-laki yang masih belia disuatu masa.  Diusianya yang masih sangat belia itu dia sudah mengalami kegelisahan yang tidak akan dialami oleh anak-anak dengan usia yang sama. Bermula dari keingin-tahuannya tentang Tuhannya.  Ketika malam telah menjadi gelap, ia melihat sebuah bintang "inilah Tuhanku". Namun itu tidak berlangsung lama, setelah bintang tersebut tenggelam, iapun berkata pada dirinya sendiri :"aku tidak suka terhadap sesuatu yang tenggelam. Berarti dia bukan Tuhanku".

Selanjutnya ketika melihat bulan bersinar dengan indahnya iapun kembali berpikir : Mungkin inilah Tuhanku". Namun lagi-lagi yang diltemuinya adalah bulanpun ikut terbenam digantikan matahari. Dan dia pun berujar: "Sesungguhnya, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk padaku, maka aku akan termasuk orang-rang yang merugi". Lalu ketika dia melihat matahari: Inilah Tuhanku, karena dia lebih besar". Namun lagi-lagi dia harus menelan kekecewaan yang berulang, bahwa mataharipun terbenam pula.
Anak tersebut bernama Ibrahim, putra dari seorang penyembah berhala dan berprofesi sebagai pematung istana. Tentunya kita semua sudah hapal dengan kisah detail dari nabi yang termasuk dalm Ulul Izmi ini. Berarti kisahnya cukup segitu saja.
Namun, apa kira-kira hikmah yang dapat dipetik dari sepenggal kisah diatas tadi?
Kalau dalam kacamata saya yang sudah +1 (maklum, sudah cukup makan asam garam, sampai bosan. Tapi makan ayam dan daging jarang, soalnya mahal), nabi kita tersebut memberi teladan yang luar biasa, yaitu pencarian. Pencarian mengenai kebenaran dengan didasarkan akal sehat dan nurani. Dua perangkat yang dititipkan kepada beliau dan kita semua sebagai umat manusia, yang dengannya kita dilebihkan dari mahluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Beliau nabi Ibrahim AS bukan penganut faham taqlid. Kalau menganut, tentunya beliau akan mengikuti jalan ayahanda dan nenek-nenek moyangnya sebagai penyembah berhala. Berkat ketaqwaannya, dan semangat mencari ketahuidan, menghantarkan beliau menjadi satu-satunya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, yang namanya diabadikan melalui penyebutan namanya dalam setiap sholat (tahiyat akhir).
Yap! semangat pencarian atas kebenaran itulah yang harus kita napak tilasi.  Memang ada sebagian orang yang mengatakan bahwa terlalu banyak berpikir, membuat kita menjadi kurang manusiawi.  Pernyataan seperti ini hendaknya harus kita waspadai. Atas dasar apa orang-orang tersebut membuat kesimpulan tersebut.  Jangan-jangan itu adalah sebagian warisan pembodohan massal warisan dari jaman kolonial.  Dimana pada jaman penjajahan, kita umat islam mengalami pembodohan yang sistemik. Tentunya sang penjajah tidak ingin bila bangsa jajahannya menjadi bangsa yang pandai, yang dapat mengancam patahnya kukujari mereka dalam mencengkeram negeri kita ini.  Caranya mungkin dengan mengekerdilkan potensi terbesar dai bangsa ini, yaitu umat islam.  Umat islam diinfiltrasi dengan cara memasukkan kaki tangannya untuk berpura-pura sebagai alim ulama. Alim ulama gadungan inilah yang mengajarkan kepada umat islam pada saat itu untuk tidak mempunyai semangat pencarian.  Diajarkannya umat islam untuk lebih mengutamakan sampul ketimbang isi.  Disodorkan kepada umat dalam beribadah hendaknya mengedepankan harapan mendapat imbalan dari Allah SWT. Peng-khataman Al-Quran sesering mungkin, tanpa mengetahui apa isi/kandungan di dalamnya. Padahal Al Quran diturunkan melalui nabi Muhammad SAW tidak lain sebagi petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Diberitakannya bahwa setiap surat/ayat Al Quran mempunyai khasit/manfaat/fadhilah tertentu.  Sehingga saya tidak heran ketika masih kecil dahulu, ada teman yang mengajarkan "kalau kita dikejar anjing.., baca aja summum bukmum unyum, pasti kita gak akan digigit anjing".
Al Quran dijadikan mantera?
Kembali kepada pernyataan terlalu banyak berpikir, membuat kita menjadi kurang manusiawi. 
Ada seorang penulis yang protes sewaktu beliau dituduh terlalu mengagungkan pikirannya. Beliau mengcounter dengan indahnya dengan pernyataan : "Sudah tau kemampuan pikiran itu terbatas, kok malah dibatas-batasi pula? Geber dong sampai batas kemampuannya. Ini sama dengan ungkapan hidup ini sudah sulit, ngapain pula makin dipersulit?".
Wuih..., telak nian jawaban tersebut. Salut,,salut. Untuk lengkapnya, bisa dibaca mengenai tulisannya disini.
Bukan berarti saya menganut aliran yang tidak membutuhkan sosok guru. Bagaimana saya bisa menulis seperti ini, kalau bukan karena jasa seorang guru? Guru adalah sosok yang mulia di dunia maupun akhirat. Dia adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Dia menghantarkan kita melihat ke jendela cakrawala dunia.
Namun, ya itu tadi, dia menghantarkan kita. Selanjutnya, untuk keluar dari jendela, selain memerlukan ilmu yang telah diajarkan kepada kita oleh guru, kita juga memerlukan dua perangkat yang telah saya sebutkan diatas tadi, yaitu akal dan nurani.  Analogi sederhana berikut mungkin cukup untuk dijadikan perumpamaan. Guru mengajarkan kita tentang ilmu matematika. Namun begitu saatnya ujian, dia tidak akan mendampingi kita. Kita sendirilah yang harus berusaha menjawab semua soal yang diberikan.  Berlanjut pada saat kita lulus dan mulai menapaki dunia kerja. Gurupun tidak akan mendampingi kita. Kita sendirilah yang harus berusaha untuk dapat diterima kerja serta meniti karir dengan ilmu yang telah diwariskan kepada kita. Prospek selanjutnya kita mau jadi pion atau jadi raja, semua bergantung pada usaha kita.
Dan, the last but not least, Rahmat dan HidayahNya adalah merupakan kunci untuk menggapai kesuksesan / kebenaran.
Imam Malik RA berkata : Setiap perkataan manusia bisa diikuti, bisa juga dibantah, kecuali pendapat penghuni makam ini (sambil menunjuk makam Rasulullah SAW)”.
Imam Ahmad RA berkata, ”Janganlah kalian bertaqlid (mengikuti/membeo tanpa tahu dasar rujukannya) kepadaku, jangan pula kepada Malik, Syafi’i, Al Auza’i, Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil (pendapat mereka)”.
Imam Syafi’i RA berkata “Jika kalian mendapati dalam kitabku, pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW, maka ambillah sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkan pendapatku”.
So..., mari terus bersemangat mencari..., jangan taqlid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar